Hal ini, lanjut Nasir, dilakukan untuk menanggapi munculnya kecurangan dalam bentuk pembuatan ijazah palsu, sehingga ada mahasiswa yang membeli skripsi layaknya hukum ekonomi, ada permintaan dan penawaran.
''Skripsi diopsionalkan atau pilihan, karena pertimbangannya satu, menulis itu untuk S1 apakah sudah menjadi kewajiban atau belum. Ada bentuk lain disebut independent studies, atau pembelajaran mandiri. Bisa bentuk penulisan juga, tapi bukan berbentuk skripsi,'' ujar Nasir di kediamannya, Jumat 22 Mei 2015.
Menurut dia, hal ini sudah diterapkan di beberapa kampus, namun masih ada kampus-kampus yang mewajibkan penulisan skripsi sebagai tugas akhir.
''Karena sudah ada perguruan tinggi yang menerapkan itu, UI (Universitas Indonesia) tanpa skripsi baik baik saja, jadi digantikan dengan opsionalnya, misalnya tugas yang berbentuk lain,'' jelas Nasir.
Menteri yang sempat dipilih menjadi Rektor Universitas Diponegoro itu juga mengatakan, sebenarnya peraturan terkait tentang hal itu sudah diterapkan sejak tahun 2000, namun beberapa kampus masih mewajibkan. Hal itu menurutnya akan menimbulkan kecurangan-kecurangan, salah satunya adalah dalam bentuk pembelian skripsi, yang berujung pada ijazah palsu.
''ini kan sudah ada Permen (Peraturan Menteri) kalau skripsi itu opsional, maka kalau PT (Perguruan Tinggi) mewajibkan, akibatnya terjadi yang semacam ini, pengawasan kurang baik. Akhirnya, kecurangan terjadi. Permen ini sudah ada sejak tahun 2000 lho,'' jelas Nasir.
Dan lagi penulisan skripsi sering kali menjadi momok bagi mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengejar kelulusan. Kewajiban mengerjakan skripsi seakan-akan menjadi beban berat yang harus diemban mahasiswa jika ingin mendapakan gelar sebelum terjun ke dunia kerja. Sebenarnya, apa saja signifikansi mengerjakan skripsi? Simak penjelasan praktisi pendidikan pada artikel di bawah ini.
Pernyataan dari berbagai pakar dari kampus terkemuka di Yogyakarta :
Rudi Widiyanto, M.Psi., Psikolog, People Development Manager ECC UGM, menerangkan bahwa skripsi membuat seseorang berlatih untuk berpikir sistematis dan runtut. Sebab semua teori dan dasar berpikir telah ada dan hanya perlu mencari. Setelah ketemu landasannya, kita atur sedemikian rupa menjadi Bab 1, Bab 2, dan seterusnya.Skripsi Bukanlah Kewajiban
Dr. M. Supraja, S.H., S.Sos, M.Si. Dosen Sosiologi ini mengungkapkan bahwa skripsi bisa membuat mahasiswa bisa berpikir sistematis. “Skripsi yang merujuk pada penelitian sosial misalnya. Dalam melakukan peneltian, mahasiswa harus mampu menentukan kerangka berfikir mulai dari tema, masalah penelitian, teori, sampai metode. Penulisannya pun harus urut agar bisa menjadi karya tulis yang ilmiah,” ungkapnya.
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) YKPN Yogyakarta merupakan contoh perguruan tinggi yang tidak mewajibkan skripsi bagi mahasiswanya. Dr. Efraim Ferdinan Giri, M. Si., CA., Ak., Wakil Ketua Bidang Akademik STIE YKPN pun membenarkan hal tersebut. “Kami memberi kebebasan bagi mahasiswa untuk memilih mengerjakan skripsi atau tidak. Jika mereka memilih tidak mengerjakan, bobot skripsi yang berjumlah 6 SKS akan dialihkan menjadi mata kuliah lainnya,” terangnya.
Efraim pun menjelaskan bahwa kebijakan ini dilandasi beberapa poin pertimbangan. Pertama, undang-undang tidak pernah mewajibkan mahasiswa untuk mengerjakan skripsi. “Undang-undang hanya menerangkan masalah plagiasi. Bahwa gelar akan dicopot jika hasil skripsi disinyalir merupakan hasil plagiasi,” jelasnya.
Kedua adalah faktor waktu. Dimana mahasiswa sering kali molor waktu kelulusannya karena mengerjakan skripsi. “Hal ini bisa disebabkan banyak hal. Salah satunya adalah faktor dosen yang sulit ditemui segingga pengerjaan skripsi molor,” kata Efraim. Poin ini lantas berpengaruh pada produktifitas mahasiswa dalam mencari pekerjaan. “Dengan panjangnya waktu yang dipergunakan untuk menulis skripsi, mahasiswa pun kehilangan waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk mencari pekerjaan,” Efraim menerangkan.
Poin terakhir adalah minimnya pengajaran. Menurut Efraim, pengerjaan skripsi ini menjadi hal yang sulit karena mahasiswa tidak pernah diajarkan bagaimana cara menulis yang baik dan benar. “Bagaimana mungkin mahasiswa bisa menghasilkan karya yang baik saat dia tidak pernah diajarkan bagaimana cara mencurahkan pikirannya dalam bentuk tulisan?” ungkap Efraim.
Bukan Pabrik Pekerja
Adanya opsi pengerjaan skripsi ini diakui Efraim berpengaruh pada proses pencarian kerja. “Gelar memang tidak tepengaruh, semua opsi sama saja. Tapi yang berbeda adalah transkripnya. Saat mahasiswa itu mengambik skripsi maka poin skripsi akan muncul di dalam transkrip, begitu pula sebaliknya. Sayangnya. beberapa institusi atau perusahaan ada yang mewajibkan karyawannya mengerjakan skripsi, salah satunya BUMN. Oleh karenanya mahasiswa yang tidak memiliki poin skripsi dalam transkripnya akan langsung tercoret dari daftar pelamar,” jelasnya.
Meski demikian, Efraim masih percaya bahwa perguruan tinggi tidak seharusnya berlaku seperti Balai Latihan Kerja (BLK). “Perguruan tinggi itu harusnya mengajar dan mendidik. Bukan menjadi pabrik pekerja bagi perusahaan,” ucapnya. Senada dengan Efraim, Supraja pun mengungkapkan bahwa masih ada hal lain yang lebih esensial dari sekadar mencari pekerjaan. “Kuliah itu tidak semerta-merta masalah IPK cumlaude, tapi juga apa yang bisa didapat dan dipelajari dari proses belajar mengajar. Mahasiswa dengan IPK 4,0 tapi tanpa pengalaman belum tentu lebih baik dari mahasiswa biasa yang memiliki kemampuan dan pengalaman lebih,” tandasnya.
Apapun asumsinya, setiap perguruan tinggi memiliki sistemnya sendiri-sendiri. Jika memang institusi mewajibkan skripsi, jangan sedih, kerjakanlah dengan ikhlas.